Shighat Taklik Talak
Bagaimana hukum shighat taklik seperti yang tercantum dalam
saya : ……Fulan………. bin ………Fulan………. berjanji dengan sesungguh hati bahwa saya akan mempergauli istri saya yang bernama : ……Fulanah…….. binti ………Fulan…….. dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran Islam.
Kepada istri saya tersebut, saya menyatakan sighat ta’lik sebagai berikut :
Apabila saya :
- Meninggalkan istri saya selama 2 (dua) tahun berturut-turut;
- Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya;
- Menyakiti badan atau jasmani istri saya;
- Membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya selama 6 (enam) bulan atau lebih,
Dan karena perbuatan saya tersebut, istri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut kemudian istri saya membayar uang sebesar Rp. 10,000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai ‘iwadl(pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.
Kepada Pengadilan Agama saya memberikan kuasa untuk menerima uang ‘iwadl (pengganti) tersebut dan menyerahkannya kepada Badan Amil Zakat Nasional setempat untuk keperluan ibadah sosial.
Apakah shighat semacam ini dibolehkan? Haruskah dibaca?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Shighat taklik talak, jika ditulis dalam bahasa arab menjadi [صيغة تعليق الطللاق].
Shighat artinya pernyataan. Taklik talak artinya menggantungkan talak. Sehingga arti Shighat taklik talak adalah pernyataan menggantungkan talak jika terjadi kasus yang disebutkan.
Kita akan memahami takyif fiqh (pendekatan fiqh alam memahami kasus) dari shighat taklik talak.
Dalam teks shighat taklik di atas, suami menyatakan bahwa dia bersedia menerima gugatan cerai (khulu’) dari istri ketika suami melakukan pelanggaran seperti yang disebutkan. Sehingga pada hakekatnya, shighat ini adalah janji dari suami untuk mengabulkan khulu’ istrinya, ketika suami melakukan pelanggaran yang disebutkan.
Kapan Istri Boleh Gugat Cerai?
Gugatan talak yang diajukan seorang istri, secara umum bisa dilatar belakangi 2 sebab:
Pertama, karena pelanggaran yang menyebabkan suami melakukan kedzaliman kepada istrinya. Atau suami melakukan pelanggaran syariat, yang menyebabkan istri berhak melepaskan ikatan pernikahan dengannya. Atau adanya kekurangan pada diri suaminya, yang menyebabkan istri menjadi tertekan, sehingga tidak bisa menunaikan kewajibannya untuk taat kepada suaminya.
Latar belakang gugatan ini dibenarkan, sekalipun tidak ada janji sebelumnya. Artinya, sekalipun belum pernah disyaratkan sebelum akad nikah maupun ketika akad nikah.
Imam Ibnu Qudamah – ulama madzhab hambali – menjelaskan,
وجمله الأمر أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه أو خلقه أو دينه أو كبره أو ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن لا تؤدي حق الله في طاعته جاز لها أن تخالعه بعوض تفتدي به نفسها منه
Kesimpulan dalam masalah ini, bahwa seorang wanita, jika membenci suaminya karena akhlaknya atau karena fisiknya atau karena agamanya, atau karena usianya yang sudah tua, atau karena dia lemah, atau alasan yang semisalnya, sementara dia khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami, maka boleh baginya untuk meminta khulu’ (gugat cerai) kepada suaminya dengan memberikan biaya/ganti untuk melepaskan dirinya.” (al-Mughni, 7/323).
Kedua, karena suami melanggar syarat yang disepakati sebelum akad atau ketika akad.
Misalnya, sang istri mengajukan syarat agar selama nikah, suami tidak poligami. Dan suami menyetujui syarat ini. Ternyata di perjalanan pernikahan, suami melanggar syarat ini. Maka istri berhak untuk mengajukan gugat cerai.
Imam Ibnu Qudamah menyebutkan macam-macam syarat yang diajukan ketika menikah. Diantara yang beliau sebutkan,
الشروط في النكاح تنقسم أقساما ثلاثة : أحدها : ما يلزم الوفاء به وهو ما يعود إليها نفعه وفائدته مثل أن يشترط لها أن لا يخرجها من دارها أو بلدها أو لا يسافر بها ولا يتزوج عليها ولا يتسرى عليها فهذا يلزمه الوفاء لها به فإن لم يفعل فلها فسخ النكاح يروى هذا عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه وسعد بن أبي وقاص ومعاوية وعمرو بن العاص رضي الله عنهم
“Syarat yang diajukan dalam nikah, terbagi menjadi tiga: Pertama, syarat yang wajib dipenuhi. Itulah syarat yang manfaat dan faidahnya kembali kepada pihak wanita. Misalnya, syarat agar si wanita tidak diajak pindah dari rumahnnya atau daerahnya, atau tidak diajak pergi safar, atau tidak poligami selama istri masih hidup, atau tidak menggauli budak. Wajib bagi suami untuk memenuhi semua persyaratan yang diajukan ini. Jika suami tidak memenuhinya maka istri punya hak untuk melakukan fasakh (membatalkan nikah). Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Khatab, Sa’d bin Abi Waqqash, Muawiyah, dan Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhum.” (al-Mughni, 7/448).
Persyaratan Dalam Shighat Taklik Talak
Kita simak lebih detil syarat dalam shighat taklik
Suami akan mempergauli istrinya dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf). Dan suami bertekad tidak melakukan pelanggaran berikut,
- Meninggalkan istri saya selama 2 (dua) tahun berturut-turut;
- Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya;
- Menyakiti badan atau jasmani istri saya;
- Membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya selama 6 (enam) bulan atau lebih,
Jika kita perhatikan, semua yang dinyatakan dalam syarat di atas, hukum asalnya adalah kewajiban bagi suami.
Mu’asyarah bil ma’ruf, mempergauli istri dengan baik, ini kewajiban yang Allah sebutkan dalam al-Quran. Allah berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Pergaulilah mereka dengan cara yang makruf (baik). Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. an-Nisa: 19)
Sementara daftar 4 pelanggaran yang disebutkan, semuanya tergolong tindakan kedzaliman suami kepada istri. Sehingga jika salah satu dari pelanggaran di atas dilakukan oleh suami, sebenarnya istri berhak untuk mengajukan gugatan, sekalipun tidak dinyatakan dalam akad nikah. Karena dengan sebatas adanya pelanggaran di atas, istri berhak untuk gugat cerai. Kita bisa mengacu dari keterangan Imam Ibnu udamah di atas.
Mengapa Harus Dinyatakan Seusai Akad?
Yang menganjurkan hal ini adalah pemerintah. Dan jika kita perhatikan, ini bagian dari upaya pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada para wanita, dari semua tindakan kedzaliman dalam rumah tangga. Sehingga diharapkan, ketika suami membacanya, apalagi di hadapan istri, wali, dan para saksi, suami akan lebih perhatian. Apalagi ketika dia sanggup tanda tangan di bawah shighat itu. Dia akan lebih siap dengan konsekuensi yang dia tanda tangani
Keberadaan shighat ini memang tidak mempengaruhi keabsahan akad nikah. Sehingga boleh dibaca, boleh juga tidak dibaca. Namun jika salah satu, baik istri, wali, atau pihak KUA meminta untuk dibaca, tidak ada salahnya jika suami membacanya. Dan itu bukan pemaksaan yang tidak beralasan. Karena sekali lagi, fungsinya adalah sebagai bahan perhatian bagi suami untuk bersikap baik kepada istrinya (mu’asyarah bil ma’ruf).
Menjaga Hak Suami
Hanya saja, sisi tidak seimbang yang belum disentuh dalam buku nikah, negara tidak menyebutkan hak suami. Jika adanya shighat taklik dimaksudkan untuk menjaga hak istri, akan lebih sempurna jika ada pernyataan penyeimbang untuk menjaga hak suami.
Dalam islam, ditetapkan keseimbangan hak dan kewajiban pasangan suami istri:
- Suami wajib menanggung semua kebutuhan hidup istri
- Istri wajib mentaati suami selama bukan maksiat
Masyarakat kita lebih terdidik dengan yang pertama dibandingkan yang kedua. Artinya semua orang paham bahwa suami wajib menafkahi istrinya. Sementara masalah kewajiban istri untuk taat kepada suami, masih banyak yang belum memahaminya.
Padahal tidak sedikit dalam keluarga yang sumber masalahnya datang dari istrinya. Meskipun banyak juga keluarga yang sumber masalahnya datang dari suaminya.
Semoga bermanfaat, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Read more https://konsultasisyariah.com/26206-hukum-shighat-taklik-talak.html