Barangkali tidak banyak yang tahu atau setidaknya pernah mendengar nama Desa Lando dan Desa Rarang Selatan. Tapi hampir semua orang tahu, setidaknya pernah mendengar, nama bakul –atau keraro dalam bahasa lokal, dan nyiru atau yang biasa disebut keleong. Kedua barang itu: bakul dan nyiru, merupakan kebutuhan sehari-hari kita. Bakul biasa digunakan sebagai wadah mencuci beras, untuk wadah sayuran, untuk wadah mengangkut sesuatu, dan fungsi lain yang sangat banyak. Sedangkan nyiru, fungsi utamanya untuk menampik atau membersihkan beras sebelum dimasak. Penduduk Desa Lando sudah berpuluh-puluh tahun menekuni kerajinan bakul. Pusatnya ada di Dusun Kertasari, sebuah dusun yang letaknya di pedalaman. Dari 289 Kepala Keluarga (KK) yang mendiami dusun kering itu, tak kurang dari 251 KK di antaranya menggantungkan hidupnya dari usaha kerajinan bakul. Ditambah lagi sekitar 40 KK pengrajin di Dusun Lando Lauq, yang bersebelahan dengan Kertasari. Tidak jelas kapan nenek moyang mereka mulai menggeluti kerajinan bakul. Haji Mukhlis, seorang pengrajin yang kini berusia 62 tahun, mengaku sejak kecil ia sudah mendapati orang tuanya sebagai pengrajin. Sama dengan kerajinan nyiru yang ditekuni warga Desa Rarang Selatan. Setiap warga yang ditanya kapan kerajinan nyiru menjadi keseharian warga desa itu, hanya menjawab “ini adalah peninggalan nenek moyang kami.” Pengrajin nyiru tersebar di keempat dusun di desa itu, namun sebagian besar pengrajin terpusat di Dusun Kamput. Setengah dari total 346 KK di dusun itu mencari penghasilan dari kerajinan nyiru. Selama ini, pengrajin mendapatkan pinjaman dari orang lain. Bunganya sampai 100 persen. Bunga sebesar itu tentu berat bagi pengrajin, tapi harus bagaimana lagi, mereka perlu modal untuk kelancaran usahanya. Pengrajin di Desa Lando dan Rarang Selatan menjalankan usahanya sendiri-sendiri. Tidak ada wadah tempat mereka bernaung. Mulai dari meminjam modal, membeli bahan baku, hingga memasarkan hasil kerajinan ke pasar atau pengepul, masing-masing dari mereka mengurus sendiri. “Tidak ada istilah rugi dalam usaha keraro,” kata H. Mukhlis. Menurutnya, sejak mulai terjun menjadi pengrajin pada 1965, tak pernah ada produk yang tersisa di rumah. Begitu jadi, semua terjual dengan cepat. “Kalau di sini, lebih baik jual bambu daripada daging sapi,” ujarnya menggambarkan betapa kebutuhan akan bambu begitu tinggi untuk memproduksi keraro setiap hari. “Yang menjadi masalah pokok dalam usaha ini adalah keterbatasan modal,” terangnya. Selama ini, pengrajin meminjam modal ke orang lain. Bunganya sampai 100 persen. Bunga sebesar itu tentu berat bagi pengrajin, tapi harus bagaimana lagi, mereka perlu modal untuk kelancaran usaha. Bentuk Kelompok Akhir Oktober lalu, pengrajin bakul di Desa Lando membentuk kelompok usaha bersama. Sebagai modal awal, kelompok ini mendapatkan pinjaman lunak dari Lembaga Transform sebesar Rp 5 juta. Tak pelak, bantuan modal awal itu bagaikan siraman bensin di antara letupan-letupan api kecil. Para pengrajin berduyun mendaftarkan diri untuk menjadi anggota kelompok. Namun keterbatasan modal awal membuat mereka harus bersabar menunggu. “Sebenarnya masih banyak yang mau ikut bergabung, tapi untuk saat ini kita cukupkan dulu. Nanti kalau modal sudah berkembang barulah kita berani menerima lagi,” ujar H. Mukhlis yang dipilih sebagai ketua kelompok. Pada bulan pertama hanya 24 orang yang bisa diterima sebagai anggota. Setiap anggota menyetor iuran Rp 100 ribu untuk tambahan modal kelompok. Dan dengan modal kelompok yang terkumpul, masing-masing anggota mendapatkan pinjaman Rp 300 ribu, dengan bunga sesuai kesepakatan, yaitu 2 persen. “Ini sesuatu yang luar biasa. Telah lama kami mendambakan kelompok usaha seperti ini, tapi tak pernah terwujud karena merasa berat meminjam modal di bank” kata Mukhlis. Dengan adanya bantuan pinjaman lunak, katanya, persoalan modal yang melilit pengrajin bakul selama ini menemukan celah solusinya. Apresiasi yang nyaris sama ditunjukkan oleh kelompok usaha baru di Desa Rarang Selatan. Pengrajin nyiru di sana juga membentuk kelompok usaha bersama. Jumlah anggota kelompok mereka saat ini sebanyak 20 orang, dengan iuran Rp 50 ribu per anggota. Dengan mendapat pinjaman lunak Rp 5 juta dari Lembaga Transform, total modal kelompok yang mereka miliki sebanyak Rp 6 juta. Dengan begitu, masing-masing anggota mendapat pinjaman Rp 300 ribu. Dengan bunga 2 persen, mereka harus menyetor pinjaman pokok dan bunganya setiap bulan. “Kami baru bisa menambah anggota setelah setoran bulan pertama nanti,” kata Munggah, sekretaris kelompok. Munggah berkali-kali menyatakan rasa syukurnya atas bantuan modal itu. “Dengan adanya modal, pengrajin bisa mengatur produksi dengan lebih bebas,” katanya. Munggah menyebut modal sebagai persoalan besar bagi pengrajin nyiru karena fluktuasi produksi nyiru yang sangat tajam sepanjang tahun. “Pada musim tembakau, produksi nyiru menurun, sehingga harganya melonjak naik. Sebaliknya, di luar musim tembakau produksi nyiru meningkat dan harga turun,” kata Munggah menguraikan pengalamannya selama ini. Dengan adanya wadah kelompok usaha bersama, ia yakin persoalan selama ini bisa diatasi. Pengrajin bisa mendapatkan pinjaman modal sehingga bisa menyiapkan stok yang cukup untuk memenuhi kebutuhan saat musim tembakau. Dengan begitu, keuntungan tidak hanya diraup para pengepul. Sebelumnya pengrajin hanya mampu membeli bahan baku seadanya untuk memenuhi kebutuhan saat itu saja. Akhir Oktober lalu, kedua kelompok usaha bersama itu berkunjung ke Desa Montong Baan Selatan Kecamatan Sikur. Mereka bertemu dengan kelompok usaha pengrajin ingke di Dusun Dasan Buwuh yang sudah cukup mapan, untuk menimba pengalaman kelompok itu dalam mengelola usaha bersama. [Ojan, Wawan, Anik].
Sumber : http://transform.or.id/baca/berita/57/IMPIAN-MENJADI-KENYATAAN:-Pengrajin-Bentuk-Kelompok-Usaha